Tugas Fortofolio ke 4
04.03
By
Unknown
0
komentar
A.
Pertentangan
Sosial dan Interaksi Masyarakat
1.
Perbedaan-perbedaan
kepentingan, prasangkah, diskriminasi, dan etnosentris.
Perbedaan-perbedaan
kepentingan
Kepentingan
merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku
karena adanya dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya
esensial bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri, jika individu berhasil
memenuhi kepentingannya, maka ia akan merasakan kepuasan dan sebaliknya
kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan menimbilkan masalah baik bagi dirinya
maupun bagi lingkungannya.
Dengan
berpegang prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam
memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu
dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan
tersebut.
Oleh karena
individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam
aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya
timbul perbedaan individu dalam hal kepentingannya.
Perbedaan kepentingan itu
antara lain berupa :
1. kepentingan individu untuk
memperoleh kasih sayang
2. kepentingan individu untuk
memperoleh harga diri
3. kepentingan individu untuk
memperoleh penghargaan yang sama
4. kepentingan individu untuk
memperoleh prestasi dan posisi
5. kepentingan individu untuk dibutuhkan
orang lain
6. kepentingan individu untuk
memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya
7. kepentingan individu untuk
memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
8. kepentingan individu untuk
memperoleh kemerdekaan diri.
Kenyataan-kenyataan
seperti itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang
akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama
dalam tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara
harapan dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya kenyataan itu disebabkan oleh
sudut pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai pemegang
kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan sebagai sub-sub ideologi.
Perbedaan kepentingan ini tidak
secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal beberapa fase
yaitu:
1. fase disorganisasi yang
terjadi karena kesalahpahaman.
2. fase dis-integrasi yaitu
pernyataan tidak setuju.
prasangka
merupakan dasar pribadi seseorang yang setiap orang memilikinya, sejak masih
kecil unsur sikap bermusuhan sudah nampak. Prasangka selalu ada pada mereka
yang berpikirnya sederhana dan masyarakat yang tergolong cendekiawan, sarjana,
dan pemimpin atau negarawan. Prasangka dan diskriminasi ini merupakan tindakan
yang dapat merugikan pertumbuhan, perkembangan dan bahkan integrasi masyarakat.
Dalam kaitan dengan dasar kebutuhan pribadi, prasangka menunjukkan pada aspek
sikap. Sedangkan untuk diskriminasi menunjukkan pada aspek-aspek
tindakan.
Menurut Gordon
Allproc (1958) ada 5 pendekatan dalam menentukan sebab terjadinyaprasangka:
1. Pendekatan Historis
1. Pendekatan Historis
Didasarkan atas teori Pertentangan Kelas yaitu
menyalahkan kelas rendah yang imperior, dimana mereka yang tergolong dalam
kelas atas mempunyai alasan untuk berprasangkaterhadapkelasrendah.
2. Pendekatan Sosio Kultural dan Situasional.
Meliputi mobilitas sosial, konflik antar
kelompok, stigma perkantoran dan sosialisasi.
3. Pendekatan Kepribadian
3. Pendekatan Kepribadian
Teori ini menekankan kepada faktor kepriadian
sebagai penyebab prasangka (Teori FrustasiAgresi).
4. Pendekatan Fenomenologis
4. Pendekatan Fenomenologis
Ditekankan bagaimana individu
memandang/mempersepsikan lingkungannya, sehingga persepsilah yang menyebabkan prasangka.
5. Pendekatan Naïve.
5. Pendekatan Naïve.
Menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti objek
prasangka dan tidak menyoroti individu yang berprasangka.
Etnosentrisme merupakan sikap untuk
menilai unsur-unsur kebudayaan orang lain dengan menggunakan ukuran-ukuran
kebudayaan sendiri. Dan diajarkan kepada anggota kelompok secara sadar atau
tidak, bersama-sama dengan nilai kebudayaan.
Stereotype merupakan suatu
tanggapan dan anggapan yang bersifat jelek dan tantangan mengenai sifat-sifat
dan watak pribadi orang/golongan lain yang bercorak negatif sebagai akibat
tidak lengkapnya informasi dan sifatnya subjektif.
Diskriminasi
merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana
layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu
tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk
membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil
karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan,
aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan
dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi langsung, terjadi
saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik
tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya
peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung,
terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat
diterapkan di lapangan.Diskriminasi ditempat kerja
Diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai macam
bentuk:
dari struktur upah,
cara penerimaan karyawan,
strategi yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, ataukondisi kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori statistik diskriminasi berdasar pada pendapat bahwa perusahaan tidak dapat mengontrol produktivitas pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha cenderung menyandarkan diri pada karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau jenis kelamin, sebagai indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota dari kelompok tertentu memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.
Etnosentrisme
cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme
memandang dan mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. “ ( The Random
House Dictionary ).
Ada satu suku Eskimo yang
menyebut diri mereka suku Inuit yang berarti “penduduk sejati” [Herbert, 1973,
hal.2]. Sumner menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme, yang secara
formal didefinisikan sebagai “pandangan bahwa kelompoknya sendiri” adalah pusat
segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan
standar kelompok tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan
kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme terjadi jika
masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan
kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya
menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme,
yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan
kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk
penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan
kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung
melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling
baik, sebagai yang paling bermoral.” Etnosentrisme membuat kebudayaan kita
sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang
terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat
mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri
sendiri. Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu
masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan
etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian
dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan
kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan
erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.Kecenderungan etnosentrisme
berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The
Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang
etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang
fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai
kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri
disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang
yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human
encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan,
yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu
menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan
sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan
etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan
dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena
faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok
sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala
sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang
berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap
etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang
bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson
et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan,
berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar
etnosentris seseorang.
2.
Pertentangan
Sosial dalam Masyarakat
Konflik (Pertentangan) cenderung menimbulkan
respon-respon yang bernada ketakutan atau kebencian. Konflik dapat memberikan
akibat yang merusak terhadap diri seseorang, anggota kelompok. Konflik dapat
mengakibatkan kekuatan yang konstruktif dalam hubungan kelompok.
Ada 3 elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari
situasi konflik:
1. Terdapat 2 atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat konflik.
2. Unit tersebut mempunyai perbedaan yang tajam (kebutuhan, tujuan, masalah, nilai, sikap dan gagasan).
3. Terdapat interaksi diantara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan tersebut.Terjadinya konflik bisa pada didalam diri seseorang, didalam kelompok dan didalam masyarakat.
1. Terdapat 2 atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat konflik.
2. Unit tersebut mempunyai perbedaan yang tajam (kebutuhan, tujuan, masalah, nilai, sikap dan gagasan).
3. Terdapat interaksi diantara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan tersebut.Terjadinya konflik bisa pada didalam diri seseorang, didalam kelompok dan didalam masyarakat.
Cara-cara pemecahan konflik :
1. Elimination
Yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, diungkapkan dengan “kami mengalah”, “kami keluar”, “kami membentuk kelompok sendiri”.
2. Subjugation/Domination
Yaitu orang/pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang/pihak lain untuk mentaatinya.
3. Majority Rule
Yaitu suara terbanyak yang ditentukan dengan voting, akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.
4. Minority Consent
Yaitu kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.
5. Compromise
Yaitu semua sub kelompok yang terlibat di dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
6. Integration
Yaitu pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
1. Elimination
Yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, diungkapkan dengan “kami mengalah”, “kami keluar”, “kami membentuk kelompok sendiri”.
2. Subjugation/Domination
Yaitu orang/pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang/pihak lain untuk mentaatinya.
3. Majority Rule
Yaitu suara terbanyak yang ditentukan dengan voting, akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.
4. Minority Consent
Yaitu kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama.
5. Compromise
Yaitu semua sub kelompok yang terlibat di dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
6. Integration
Yaitu pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
Contoh
Kasus:
Mantan Sekretaris
Fraksi PDI-P, Jacobus Majong Padang, mengaku miris atas terjadinya ketimpangan
hukum yang kini sedang dipertontonkan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Politisi
yang kerap disapa Kobu ini berujar, kaum Marhaen—sebutan kaum proletar—kini
seakan makin diproklamasikan tertindas, belum merdeka.
"Yang dipertontonkan jelas sekali, perlakuan hukum yang tidak adil. Contoh konkret nenek Minah di Banyumas, Jawa Tengah. Dia dihukum 1,5 bulan karena mencuri 3 buah kakao di kebun. Meski sudah berusaha meminta maaf, aparat tetap menegakkan hukum. Dalih, menegakkan hukum adil bagi yang melanggar hukum," kata Kobu, Sabtu (21/11).
Menurut Kobu, aparat hukum dalam kasus hukum yang dihadapi Minah berusaha menegakkan hukum seakan demi keadilan. Hal ini seakan kontras dengan apa yang terjadi, baik terhadap dugaan penyuapan yang dilakukan Anggodo Widjojo, maupun kasus skandal aliran dana Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
"Terkesan, aparat penegak hukum ingin menutupi adanya pencurian uang negara sebesar Rp 6,7 triliun di Bank Century. Keadilan sangat mahal di negeri ini. Kaum Marhaen memang belum merdeka. Pemerintah jangan pertontonkan ketimpangan hukum," kata Kobu lirih.
"Yang dipertontonkan jelas sekali, perlakuan hukum yang tidak adil. Contoh konkret nenek Minah di Banyumas, Jawa Tengah. Dia dihukum 1,5 bulan karena mencuri 3 buah kakao di kebun. Meski sudah berusaha meminta maaf, aparat tetap menegakkan hukum. Dalih, menegakkan hukum adil bagi yang melanggar hukum," kata Kobu, Sabtu (21/11).
Menurut Kobu, aparat hukum dalam kasus hukum yang dihadapi Minah berusaha menegakkan hukum seakan demi keadilan. Hal ini seakan kontras dengan apa yang terjadi, baik terhadap dugaan penyuapan yang dilakukan Anggodo Widjojo, maupun kasus skandal aliran dana Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
"Terkesan, aparat penegak hukum ingin menutupi adanya pencurian uang negara sebesar Rp 6,7 triliun di Bank Century. Keadilan sangat mahal di negeri ini. Kaum Marhaen memang belum merdeka. Pemerintah jangan pertontonkan ketimpangan hukum," kata Kobu lirih.
3.
Pengertian Intergrasi Sosial, Intergrasi Nasional
Apakah integrasi sosial itu? Integrasi sosial
adalah suatu proses penyatuan antara dua unsur atau lebih yang mengakibatkan
terciptanya suatu keinginan yang berjalan dengan baik dan benar. Lebih lanjut
jika kita masukkan ke dalam kehidupan sosial, integrasi sosial dapat diartikan
sebagai suatu proses mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat sebagai
sebuah sistem.
Sementara itu, dalam konteks kehidupan secara
nasional, integrasi nasional merupakan suatu proses penyesuaian dan penyatuan
berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda dalam suatu wilayah tertentu guna
mewujudkan kehidupan yang harmonis sebagai sebuah bangsa. Masyarakat
multikultural yang penuh dengan keragaman dan perbedaan jika dapat mencapai
keadaan terintegrasi akan membawa ke arah stabilitas dan harmonisasi kehidupan.
Hal inilah yang diinginkan dalam sebuah kehidupan bermasyarakat.
4.
Contoh Kasus Intergrasi Sosial
Kalau
telinga dipasang baik-baik, sebenarnya SBY itu sudah dinilai rakyat gagal dalam
memimpin. Tidak hanya dinilai lamban dan hanya bisa menghimbau dan tidak tegas,
namun beliau juga gagal memimpin kabinet yang seharusnya bermutu. Yang ada,
kursi kabinet hanya diisi oleh menteri campur sari tidak berbobot untuk
memadu-padankan partai koalisi!
Komentar
Gamawan Fauzi Tentang Lurah Susan sudah membuktikan blunder kepemimpinan SBY
tersebut. Anak buah yang tidak perform, bukan sepenuhnya salah anak
buah, tapi lebih pada bos-nya yang tidak cakap membina. Sudah jadi pengetahuan
umumlah, ibarat panitia di sekolah, SBY itu cuma ketua yang banyak keringat
gerak sana gerak sini bukan karena ada yang dikerjain, tapi biar keliatan sibuk
aja. Sok sibuk. Toh banyak menterinya kok yang melakukan blunder parah seperti
Gamawan ini. Belum terhitung menteri-menteri lainnya ya….
5.
Contoh
Kasus Intergrasi Nasional
Ketua UmumHimpunun Pemuda Huamual
Maluku(Care)-Titik
krusial integrasi nasional menyangkut pengelolaan politik yang berkembang dalam
sistem politik suatu negara pada gilirangnyaakan sangat di tentukan oleh
nilai-nilai kehidupan politik suatu negara,apakah itu bersifat
demokrasi atau tidak,untuk indonesia sebagai suatu negara yang sangat hetoregen
latar belakang budaya,agama,keadaan geografis dan ikatan emosional warga
lainnya,demokratisasi harus di jadikan komitmnen bersama untuk di wujudkan.
Indonesia adalah salah satu
negara yang sedang dan dalam proses menjalangkan demokrasi secara baik,,hal ini
terlihat ketika pemilihan kepala daerah, DPR, MPR, DAN PRESIDEN secara langsung
di lakukan,demokrasi yang di jalankan rakyat indonesia adalah demokrasi yang
terpimpin,demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan kepada rakyat, dan rakyat,
wakil rakyat, pemerintahlah, yang menentukan arah menuju indonesia yang lebih
baik.
Masalah fundamental yang
melatari pentingnya kemandirian partai politik dan kontrol terhadap
penyelengaraan negara atau kekuasaan tidak bisa di lepaskan dari proses
demokratisasi,demokratisasi, bagaimanapun,harus tetap berjalan dengan proses
gradual yang menyentuh seluruh level kehidupan berbangsa.era multi partai telah
memunculkan afiliasi politik (publik) menjadi kristalisasi ideologi kepentingan
yang saling berbeda, pilihan publik terhadap partai politiknya tak lagi di
kontrol seperti dulu,akhirnya keberlangsungan penyelenggaraan negara atau
kekuasaan tidak dapat lagi di paksakan sebagai kepentingan penguasa saja,tetapi
semata-mata kepentingan publik,
Hal ini menjadi kondisi riil
saat ini,karenanya menjadi problem polkitik kontemporer yang di hadapi dan
perlu di selesaikan bangsa ini,demokrasi telah menjadi ancaman bagi integrasi
nasional yang sudah di bangun selama beberapa dasawarsa.letupan-letupan di
berbagai daerah adalah akses langsung dari terbukanya kran kebebasan politik
tanpa infrastruktur budaya politik yang memadai,
Setelah runtuhnya sistem
pengendalian partisipasi yang di jalankan dengan cara refresif pada kurun waktu
yang panjang selama berlakunya rezim orde baru,terjadinya fenomena melemahnya
peranan negara dalam mengelola negara dalam mengelola kehidupan
bermasyarakat,sikap antusias masyarakat dalam mengambil alih peran negara
tersebut tampaknya menjadi ujian tersendiri di tengah segala keterbatasan
sumber daya yang di miliki. Hal ini berkembang di tengah upaya konsilidasi
kekuatan negara ke arah demokratisasi yang masih di pertanyakan arahnya,
mengingat masih kuatnya tarik-menarik antar berbagai kepentingan.
Diferensiasi pilihan politik
memang memiliki berbagai konsekuensi bagi kehidupan bangsa secara
keseluruhan,apapun pilihan dan kepentingan politik kita,ia semestinya tetap
berada dalam koridor kepentingan bersama yaitu terpeliharanya intergarsi
bangsa,artinya tidak ada pilihan yang benar-benar mutlak berdiri sendiri
sebagai satu-satunya entitas,semuanya memiliki ketergantungan secara alamiah
karena kodrat manusia sebagai mahluk sosial,
Masalah kualitas integrasi
bangsa ini lihat dari dua dimensi intergarsi politik menurut akbar tanjung
,yaitu pertama adalah dimensi vertikal (elit masa) dan dimensi horisontal atau
teritorial (antar masa,baik dalam satu wilayah maupun antar wilayah berbeda)
Integrasi politik berdimensi
vertikal,bertujuan untuk menjembatani celah perbem, daan yang mungkin ada
antara elit dengan masa dalam rangka pengembangan proses politik
terpadu,sedangkan dimensi horisontal,atau yang kita kenal sebagai dimensi
teritorial bertujuan untuk mengurangi ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka
proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen,ini berarti proses
politik dan sistem politik suatu negaralah yang akan menentukan ke arah manan
pencapaian tujuan integrasi nasional dapa6t di lakukan.
Apakah sistem demokrasi yang di
pilih indonesia terbebas dari pemaksaan keseragaman.indonesia belum secara
konsisten menerapkan demokrasi dalam arti kata negara moderen yang membatasi
kekuasaan berdasarkan fungsi resminya.pengelolaan kehidupan politik saat ini
juga akan mempengaruhi hasilnya bagi kehidupan intergrasi pada masa depan,dalam
artian apakah intergrasi ini terjadi melalui cara,di paksa atau,terpaksa,
Dari pembahasan di atas dapat
di simpulkan bahwa demokrasi memberikan prasyratan tentang kewajiban seluruh
anak bangsa untuk terus menerus menjaga proses demokrasi yang sedang
berjalan,dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di antara sesama
masyarakat yang berbeda beda suku agama,tetapi sebagai warga yang baik
tetap menjaga proses demokrasi sehingga tidak ternoda oleh kepentingan kelompok
atau perorangan.
Demokrasi memberikan nilai
politik yang baik kepada kita sehingga demokrasi indonesia bisa menjadi contoh
buat negara negara yang sedang menerapkan demokrasi tersebut, ada juga masalah
etika dan solidaritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,etika juga di
tunjukan sehingga indonesia menjadi negara yang walaupun berbeda beda
suku,agama,dan budaya tetapi sangat menghormati dan menghargai sesama kelompok
dan menghormati warga negara lainnya.(UW).
B. Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Kemiskinan
1. Definisi
Ilmu Pengetahuan
Dalam kamus Bahasa
Indonesia yang telah disempurnakan, yang dimaksud Ilmu
Pengetahuan adalah suatu bidang yang disusun yang sistematis
berdasarkan metode tertentu, untuk dapat dimanfaatkan sebagai penjelas gejala
tertentu. (Admojo, 1998).
Menurut Mulyadhi Kartanegara,
yang dimaksud ilmu adalah melebihi sains. Artinya apabila
sains hanya terfokus pada bidang pembahasan secara fisik dan inderawi saja,
maka ilmu pengetahuan melampui bidang-bidang tersebut, secara metafisika. Semua
pendapatnya tertuang dalam kalimatany organized knowledge sebagai
definisi ilmu.
Menurut “ensiklopedia
Indonesia” ilmu pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai
pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil
pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan menggunakan
metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan prinsipnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense, suatu
pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti
dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu pengetahuan diambil dari
kata bahasa inggris science , yang berasal dari bahasa latin scientia dari
bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui.
Ilmu pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang rasional,
sistematik, logis, dan konsisten.
Jika bisa saya ambil
kesimpulan, ilmu pengetahuan adalah suatu bidang yang berasal dari berbagai
pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil dari suatu gejala yang dianalisa dan
diperiksa secara teliti dengan menggunakan metode metode tertentu (secara
rasional, sistematik, logis, dan konsisten) sehingga didapat penjelasan
mengenai gejala yang bersangkutan. Jadi ilmu pengetahuan itu konkrit dan tidak
terbatas, yaitu dapat diukur kebenarannya. Kehadiran objek dan subjek tidak
dapat dipisahkan atau memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
2.
Pengertian
Teknologi
Teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat
manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi,
menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains (science)
dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung
dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan
satu sama lainnya. Sains mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata
sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang
materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap lainnya.
Definisi mengenai sains menurut Sardar (1987, 161) adalah
sarana pemecahan masalah mendasar dari setiap peradaban. Tanpa sains, lanjut
Sardar (1987, 161) suatu peradaban tidak dapat mempertahankan struktur-struktur
politik dan sosialnya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat dan
budayanya. Sebagai perwujudan eksternal suatu epistemologi, sains membentuk
lingkungan fisik, intelektual dan budaya serta memajukan cara produksi ekonomis
yang dipilih oleh suatu peradaban. Pendeknya, sains, jelas Sardar (1987, 161)
adalah sarana yang pada akhirnya mencetak suatu peradaban, dia merupakan
ungkapan fisik dari pandangan dunianya. Sedangkan rekayasa, menurut
Djoyohadikusumo (1994, 222) menyangkut hal pengetahuan objektif (tentang ruang,
materi, energi) yang diterapkan di bidang perancangan (termasuk mengenai
peralatan teknisnya). Dengan kata lain, teknologi mencakup teknik dan peralatan
untuk menyelenggarakan rancangan yang didasarkan atas hasil sains.
Seringkali diadakan pemisahan, bahkan pertentangan antara
sains dan penelitian ilmiah yang bersifat mendasar (basic science and
fundamental) di satu pihak dan di pihak lain sains terapan dan penelitian
terapan (applied science and applied research). Namun, satu sama lain
sebenarnya harus dilihat sebagai dua jalur yang bersifat komplementer yang
saling melengkapi, bahkan sebagai bejana berhubungan; dapat dibedakan, akan
tetapi tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya (Djoyohadikusumo 1994,
223).
Makna Teknologi, menurut Capra (2004, 106) seperti makna
‘sains’, telah mengalami perubahan sepanjang sejarah. Teknologi, berasal dari
literatur Yunani, yaitu technologia, yang diperoleh dari asal kata techne,
bermakna wacana seni. Ketika istilah itu pertama kali digunakan dalam bahasa
Inggris di abad ketujuh belas, maknanya adalah pembahasan sistematis atas ‘seni
terapan’ atau pertukangan, dan berangsur-angsur artinya merujuk pada pertukangan
itu sendiri. Pada abad ke-20, maknanya diperluas untuk mencakup tidak hanya
alat-alat dan mesin-mesin, tetapi juga metode dan teknik non-material. Yang
berarti suatu aplikasi sistematis pada teknik maupun metode. Sekarang sebagian
besar definisi teknologi, lanjut Capra (2004, 107) menekankan hubungannya
dengan sains. Ahli sosiologi Manuel Castells seperti dikutip Capra (2004, 107)
mendefinisikan teknologi sebagai ‘kumpulan alat, aturan dan prosedur yang
merupakan penerapan pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tertentu dalam
cara yang memungkinkan pengulangan.
Akan tetapi, dijelaskan oleh Capra (107) teknologi jauh
lebih tua daripada sains. Asal-usulnya pada pembuatan alat berada jauh di awal
spesies manusia, yaitu ketika bahasa, kesadaran reflektif dan kemampuan membuat
alat berevolusi bersamaan. Sesuai dengannya, spesies manusia pertama diberi
nama Homo habilis (manusia terampil) untuk menunjukkan kemampuannya
membuat alat-alat canggih.
Dari perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee
(2004, 35) teknologi merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa
dirinya tidak hidup dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang
menerangi sebagian sisi non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut
Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang memungkinkan konstituen-konstituen non
material kehidupan manusia, yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan
idealnya. Teknologi adalah sebuah manifestasi langsung dari bukti kecerdasan
manusia.
Dari pandangan semacam itu, kemudian teknologi berkembang
lebih jauh dari yang dipahami sebagai susunan pengetahuan untuk mencapai tujuan
praktis atau sebagai sesuatu yang dibuat atau diimplementasikan serta metode
untuk membuat atau mengimplementasikannya. Dua pengertian di atas telah
digantikan oleh interpretasi teknologi sebagai pengendali lingkungan seperti
kekuasaan politik di mana kebangkitan teknologi Barat telah menaklukkan dunia
dan sekarang telah digunakan di era dunia baru yang lebih ganas. Untuk
memperjelas statement tersebut, kita coba menelaah teknologi secara lebih dalam
lagi. Melihat substansi teknologi secara lebih komprehensif, yaitu konsepsi
teknologi dari kerangka filsafat.
3.
Ciri-ciri
Fenomena Teknik dalam Masyarakat
Rasionalistas, artinya
tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan
perhitungan rasional.
Artifisialitas, artinya selalu
membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah..
Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis.Teknik berkembang pada suatu kebudayaan.
Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan. Otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis.Teknik berkembang pada suatu kebudayaan.
Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan. Otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
4.
Ciri-ciri
Teknologi barat
a.
Bersifat Intensif pada semua
kegiatan manusia.
b.
Cenderung bergantung pada sifat
ketergantungan.
c.
Selalu berpikir bahwa barat adalah
pusat dari segala teknologi
5.
Pengertian
Kemiskinan
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif,
dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya
mencakup:
·
Gambaran kekurangan materi, yang
biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan
pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipsdfgeggahami sebagai situasi
kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
·
Gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
·
Gambaran tentang kurangnya
penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat
berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
·
Ciri-ciri
Manusia yang Hidup di Garis Kemiskinan
1.
Tidak memiliki factor-faktor
produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan, dll.
2.
Tidak memiliki kemungkinan untuk
memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh
tanah garapan ataua modal usaha.
3.
Tingkat pendidikan mereka rendah,
tidak sampai taman SD.
4.
Kebanyakan tinggal di desa sebagai
pekerja bebas.
5.
Banyak yang hidup di kota berusia
muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.
6.
Ciri-ciri Manusia yang Hidup Dibawah Garis kemiskinan
- Ciri-ciri manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan adalah :
- Tidak memiliki factor-faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan.
- Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan ataua modal usaha.
- Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai taman SD.
- Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas.
- Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.
7. Fungsi Kemiskinan
- Fungsi kemiskinan :
1.
Fungsi Ekonomi : penyediaan tenaga
untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan dana sosial , membuat lapangan kerja baru
dan memanfaatkan pemulung dalam mengumpulkan barang bekas.
2.
Fungsi sosial : Menimbulkan rasa
simpatik, sehingga munculnya badan amal dan zakat untuk menolong kaum miskin yang
ada.
3.
Fungsi cultural : Sumber inspirasi
kebijaksanaan teknokrat, sumber inspirasi sastawan dan memperkaya budaya saling
mengayomi antar sesama manusia.
4.
Fungsi politik : sebagai kaum yang
merasakan kinerja pemerintahan dalam perbaikan ekonomi, dan sebagai kaum yang
mengkritik jika perekonomian tidak mengalami perubahan.
(Teori
Fungsionalis Davis)
C.
Agama dan
Masyarakat
1.
Fungsi Agama
dan Masyarakat
Fungsi Agama
dalam Masyarakat Fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang
selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian.Teori
fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu
berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang
lain, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan,
bersifat kongkret terjadi di sekeliling.Fungsi agama dalam pengukuhan
nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya
pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi
sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya
bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa mayarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras, tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.
Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa mayarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras, tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.
2.
Dimensi,
Komitmen Agama
Dimensi Komitmen Agama Masalah
fungsionalisme agama dapat dinalisis lebih mudah pada komitmen agama, menurut
Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek,
pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaranagama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaranagama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu
orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang
langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun
singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
3.
Sebutkan
3 Tipe Kaitan Agama dengan Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secra utuh
(Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain.
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain.
Sifat-sifatnya:
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system nilai masyarakat secara mutlak.
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga
relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian
dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b.Masyarakat praindustri yang sedang
berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi
yang lebih tinggi darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada
system nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan
yang sacral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.
4.
Fungsi
Lembaga Agama
Pelembagaan agama adalah suatu tempat
atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut
agama.
Pelembagaan Agama di Indonesia yang mengurusi agamanya
1. Islam : MUI
Pelembagaan Agama di Indonesia yang mengurusi agamanya
1. Islam : MUI
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam
di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh
Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah,
bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
2.
Kristen : Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI)
PGI (dulu disebut Dewan Gereja-gereja di Indonesia – DGI) didirikan pada 25 Mei 1950 di Jakarta sebagai perwujudan dari kerinduan umat Kristen di Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai Tubuh Kristus yang terpecah-pecah. Karena itu, PGI menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah “mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.”
PGI (dulu disebut Dewan Gereja-gereja di Indonesia – DGI) didirikan pada 25 Mei 1950 di Jakarta sebagai perwujudan dari kerinduan umat Kristen di Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai Tubuh Kristus yang terpecah-pecah. Karena itu, PGI menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah “mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.”
3.
Katolik : Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI atau Kawali) adalah organisasi Gereja Katolik yang beranggotakan para Uskup di Indonesia dan bertujuan menggalang persatuan dan kerja sama dalam tugas pastoral memimpin umat Katolik Indonesia. Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI tidak berada di atas maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di daerah. Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah para Uskup di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah pensiun. KWI bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup. Pada 2006 anggota KWI berjumlah 36 orang, sesuai dengan jumlah keuskupan di Indonesia (35 keuskupan) ditambah seorang uskup dari Ambon (Ambon memiliki 2 uskup)
4. Hindu : persada
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI atau Kawali) adalah organisasi Gereja Katolik yang beranggotakan para Uskup di Indonesia dan bertujuan menggalang persatuan dan kerja sama dalam tugas pastoral memimpin umat Katolik Indonesia. Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI tidak berada di atas maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di daerah. Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah para Uskup di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah pensiun. KWI bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup. Pada 2006 anggota KWI berjumlah 36 orang, sesuai dengan jumlah keuskupan di Indonesia (35 keuskupan) ditambah seorang uskup dari Ambon (Ambon memiliki 2 uskup)
4. Hindu : persada
Parisada
Hindu Dharma Indonesia ( Parisada ) ialah: Majelis tertinggi umat Hindu Indonesia.
5. Budha : MBI
5. Budha : MBI
Majelis
Buddhayana Indonesia adalah majelis umat Buddha di Indonesia. Majelis ini
didirikan oleh Bhante Ashin Jinarakkhita pada hari Asadha 2499 BE tanggal 4
Juli 1955 di Semarang, tepatnya di Wihara Buddha Gaya, Watugong, Ungaran, Jawa
Tengah, dengan nama Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) dan diketuai
oleh Maha Upasaka Madhyantika S. Mangunkawatja.
6. Konghucu : MATAKIN
6. Konghucu : MATAKIN
Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN) adalah sebuah organisasi
yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Organisasi ini
didirikan pada tahun 1955. Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta
lembaga-lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak
berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau
pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air kita ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok
yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah
satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman
dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan Agama
Negara .
5.
Defenisi
Pelembagaan Agama
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk
membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.
Salah satu lembaga agama adalah :
MUI berdiri sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari
berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama
yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,yaitu,NU, Muhammadiyah, Syarikat
Islam, Perti. AlWashliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang
ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut
danPOLRI serta
13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh
seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum
berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah
banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima
tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk :
§ memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
§ memberikan nasihat dan fatwa mengenai
masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat,
meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan
antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
§ menjadi penghubung antara ulama dan
umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional;
§ meningkatkan hubungan serta kerjasama
antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan
konsultasi dan informasi secara timbal balik.
MUI
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis
Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama
Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di
kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi
semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti
tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya
dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama
organisasi.
Dalam
kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam,
Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi
organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan
tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili
kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat
kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim
dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian
Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan
dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing
serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa
organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan
menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan
bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap
Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan
lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)
6.
Contoh
Kasus Konflik Tentang Agama yang ada dalam Masyarakat
Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari
segi suku bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan tersebut, disadari
oleh para pemimpin bangsa, yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, dari
penjajahan asing. Mereka memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan
untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita
nasional dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut
termasuk kekayaan bangsa Indonesia.
Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang
positif tentang kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras dengan ajaran
agama yang menjelaskan bahwa kemajemukan itu, bagian dari sunnatullah. Agama
mengingatkan bahwa kemajemukan terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa,
sehingga harus diterima dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya
perbedaan konsepsi keagamaan.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah
sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan
benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang
konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi
pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik
fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di
berbagai tempat di mana kaum Muslim
terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh
konflik yang –sedikit banyak- dipicu
oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271)
antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh
Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik
antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini, mungkin
akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) di
dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya,
biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang
permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar
rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya. Umat Islam dipandang sebagai umat yang
radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran
yang –boleh jadi- terdapat pada
umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius
yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan
pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil
kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15)
Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep
keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat
dimungkiri bahwa sejumlah teks keagamaan
memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Dalam tradisi Judeo-Christian,
Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”,
sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “
(40) Engkau telah mengikat
pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah
kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan
orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”
Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah
hal berarti qital (peperangan). Maka, sebagian pengamat melihat, agama adalah sumber konflik, atau setidaknya memberikan
legitimasi terhadap berbagai konflik sosial. Ferguson (1977) mencatat, “Every
major religious tradition includes its justification for violence”. Sebagian
lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang
melegitimasi pembunuhan. Dalam tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), kata
mereka, Tuhan membunuh masyarakat, dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan
hal yang sama.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai
sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran
agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan
konflik di antara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu
didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang
berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian
dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.
Sehubungan dengan itu, tulisan ini bermaksud membahas
tentang: bagaimana sikap umat beragama (Islam dan Kristen) terhadap agamanya di
era millenium sekarang; dan benarkah perbedaan konsepsi agama-lah yang
menyebabkan konflik di antara kedua umat ini?
nasionalis.me/tag/contoh-kasus-integrasi/
-http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/11/pengertian-ilmu-dan-ilmu-pengetahuan.html
0 komentar: